Dalam studi Islam, salah satu topik yang sering diperdebatkan adalah hubungan antara hadits dan cerita Israiliyat. Israiliyat merujuk pada kisah-kisah yang berasal dari tradisi Yahudi dan Kristen yang masuk ke dalam literatur Islam melalui para mualaf dari kalangan Ahli Kitab, seperti Ka’b al-Ahbar dan Wahb bin Munabbih.
Salah satu kritik utama terhadap hadits adalah kemungkinan adanya infiltrasi Israiliyat, terutama dalam hadits-hadits yang berkaitan dengan sejarah para nabi dan eskatologi (akhir zaman).
Diskusi ini semakin kompleks ketika beberapa pemikir modernis menolak hadits eskatologis dengan alasan bahwa isinya terpengaruh oleh mitologi Yahudi-Kristen.
Di sisi lain, ulama seperti Syekh Imran Hosein menggunakan pendekatan berbeda dengan tetap mempertahankan validitas hadits eskatologis, tetapi menolak hadits yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an, termasuk riwayat pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah pada usia belia.
Artikel ini akan membahas perbedaan antara hadits dan Israiliyat, kritik terhadap hadits yang diduga mengandung unsur Israiliyat, serta bagaimana Al-Qur’an berfungsi untuk menilai keabsahan hadits dalam hierarki sumber hukum Islam.
Definisi Hadits dan Israiliyat
Hadits adalah segala perkataan, perbuatan, persetujuan, atau sifat yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Hadits berfungsi sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur'an dan diklasifikasikan berdasarkan kualitasnya (shahih, hasan, dha'if, dan maudhu').
Israiliyat adalah cerita-cerita yang berasal dari tradisi Yahudi dan Kristen yang masuk ke dalam khazanah tafsir dan sejarah Islam. Cerita ini sering kali disampaikan oleh para mualaf dari kalangan Yahudi atau Nasrani, seperti Ka'ab al-Ahbar dan Wahb bin Munabbih. Israiliyat dapat bersumber dari kitab-kitab terdahulu atau dari cerita rakyat yang berkembang di kalangan Bani Israil.
Persamaan Hadits dan Israiliyat
1. Memuat Kisah-Kisah Keagamaan
Baik hadits maupun Israiliyat sering mengandung narasi tentang sejarah umat terdahulu, kisah para nabi, dan peristiwa yang berhubungan dengan kehidupan akhirat.
2. Diriwayatkan Secara Lisan
Sebelum dikodifikasikan, baik hadits maupun Israiliyat disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi, memungkinkan adanya tambahan atau pengurangan dalam periwayatan.
3. Bisa Mengandung Hikmah
Beberapa cerita Israiliyat memiliki nilai moral yang dapat diambil sebagai pelajaran, sebagaimana hadits yang mengandung nasihat dan petunjuk hidup.
Perbedaan Hadits dan Israiliyat
1. Sumber:
Hadits berasal langsung dari Nabi Muhammad ﷺ, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun persetujuan beliau. Sementara itu, cerita Israiliyat bersumber dari tradisi Yahudi dan Kristen yang berkembang di kalangan Bani Israil sebelum dan pada masa Islam, sering disampaikan oleh para mualaf dari kalangan Ahli Kitab seperti Ka‘ab al-Ahbar dan Wahb bin Munabbih.
2. Otoritas:
Hadits memiliki otoritas sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Ia digunakan sebagai dasar dalam penetapan syariat, akidah, dan akhlak Islam. Sebaliknya, Israiliyat tidak memiliki otoritas hukum dalam Islam. Meskipun beberapa riwayatnya dianggap mengandung hikmah atau kesesuaian dengan ajaran Islam, ia tetap tidak bisa menjadi dalil yang mengikat.
3. Validitas:
Hadits dikaji melalui ilmu sanad dan matan untuk memastikan keasliannya. Proses verifikasi ini menghasilkan klasifikasi hadits berdasarkan tingkat keabsahannya, seperti shahih, hasan, dha‘if, atau maudhu‘ (palsu). Di sisi lain, Israiliyat tidak memiliki metode validasi seperti dalam ilmu hadits, sehingga kebenarannya tidak dapat dipastikan, terutama jika bersumber dari kitab-kitab terdahulu yang telah mengalami perubahan.
4. Fungsi:
Hadits berfungsi sebagai penjelas bagi Al-Qur’an dan sebagai pedoman dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ibadah, muamalah, dan etika sosial. Sementara itu, Israiliyat umumnya hanya berisi cerita sejarah atau kisah-kisah para nabi terdahulu yang sering digunakan dalam tafsir atau kisah moral, tetapi tidak dapat dijadikan rujukan dalam hukum Islam.
5. Potensi Distorsi:
Hadits, meskipun ada yang lemah atau palsu, tetap memiliki sistem verifikasi yang ketat untuk memilah mana yang sahih dan yang tidak. Sebaliknya, Israiliyat lebih rentan terhadap distorsi karena banyak di antaranya yang bercampur dengan mitos atau unsur yang bertentangan dengan tauhid, seperti kisah-kisah yang menggambarkan para nabi dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi seorang utusan Allah.
Contoh yang populer adalah kisah Malaikat Harut dan Marut yang digambarkan sebagai "Malaikat yang gagal menjadi manusia".
Dengan memahami perbedaan ini, umat Islam dapat lebih berhati-hati dalam menerima informasi keislaman dan memastikan bahwa pemahaman mereka tidak tercampur dengan kisah-kisah yang tidak memiliki dasar kuat dalam ajaran Islam.
Urgensi Membedakan Hadits dan Israiliyat
1. Menghindari Penyebaran Hoaks Agama
Jika Israiliyat disamakan dengan hadits, maka ajaran Islam akan bercampur dengan cerita fiktif atau terdistorsi. Sebaliknya, jika hadits (terutama hadits eskatologis) dianggap sebagai Israiliyat, maka kebenaran yang diwariskan oleh Nabi ﷺ bisa dianggap mitos belaka.
2. Menjaga Kemurnian Aqidah
Israiliyat sering mengandung unsur syirik atau konsep yang bertentangan dengan tauhid. Memasukkan Israiliyat ke dalam ajaran Islam tanpa penyaringan dapat merusak kemurnian aqidah umat.
3. Mencegah Pengingkaran Hadits Sahih
Beberapa kalangan yang skeptis terhadap hadits eskatologis menganggapnya sebagai Israiliyat, padahal hadits-hadits tentang tanda-tanda kiamat memiliki sanad yang kuat dan telah diverifikasi oleh para ulama. Pengabaian terhadap hadits-hadits ini bisa menyebabkan pemahaman yang salah tentang realitas akhir zaman.
4. Membedakan Hikmah dan Hujjah
Beberapa cerita Israiliyat mungkin memiliki hikmah yang baik, tetapi itu tidak berarti ia bisa dijadikan hujjah (dalil) dalam Islam. Sebaliknya, hadits yang sahih memiliki otoritas sebagai sumber hukum.
Memahami perbedaan antara hadits dan Israiliyat sangat penting agar umat Islam tidak terjebak dalam penyimpangan pemahaman. Kesalahan dalam menyamakan Israiliyat dengan hadits dapat menyebabkan penyebaran cerita yang tidak berdasar dalam Islam. Sementara pengingkaran terhadap hadits sahih, terutama dalam eskatologi, bisa mengaburkan ajaran Islam yang autentik.
Oleh karena itu, kajian kritis terhadap sumber-sumber Islam harus terus diperkuat dengan metodologi ilmiah agar warisan keilmuan Islam tetap terjaga dari penyimpangan.
Kritik Syekh Imran terhadap Hadits yang Berpotensi Israiliyat
Salah satu contoh hadits yang dikritik oleh Syekh Imran Hosein sebagai kemungkinan terpengaruh Israiliyat adalah riwayat tentang pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah pada usia 6 tahun dan tinggal serumah pada usia 9 tahun.
Menurutnya, hadits ini tidak selaras dengan prinsip Al-Qur’an. Menurutnya, setiap kali Al-Qur'an berbicara tentang pernikahan selalu dikaitkan dengan kematangan biologis dan kesiapan untuk menjalani hubungan suami-istri.
Syekh Imran merujuk antara lain pada QS. Al-Baqarah: 223:
نِسَآ ؤُكُمْ حَرْثٌ لَّـكُمْ ۖ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ اَنّٰى شِئْتُمْ ۖ
"Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai..."
Dalam bukunya "Methodology for the Study of the Qur'an" (2013), Syekh Imran menjelaskan bahwa istilah "ḥarts" (حرث) dalam ayat ini berarti ladang yang siap ditanami, yang menunjukkan bahwa seorang perempuan harus mencapai kedewasaan biologis sebelum menikah.
Meskipun istilah "ḥarts" (حرث) secara eksplisit hanya disebut dalam Surat Al-Baqarah ayat 223, namun prinsip-prinsip kematangan biologis, tanggung jawab, dan keharmonisan dalam pernikahan dijelaskan dalam berbagai ayat lain, seperti dalam: An-Nisa: 3, Ar-Rum: 21, An-Nur: 32, dan Al-Isra: 32.
Ayat-ayat tersebut menekankan pentingnya kesiapan fisik, emosional, dan spiritual dalam membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Berdasarkan prinsip ini, hadits yang menyatakan Aisyah menikah pada usia sangat muda dipertanyakan keabsahannya, karena tidak sejalan dengan makna “ḥarts” dalam Al-Qur’an yang menekankan kesiapan biologis dan kematangan.
Selain itu, dalam "Jerusalem in the Qur'an" (2001), Syekh Imran juga menekankan pentingnya memahami hadits dalam konteks Al-Qur’an, sehingga hadits yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip utama Islam harus dikaji ulang.
Pandangan Kalangan Modernis: Hadits Eskatologis sebagai Israiliyat?
Sebagian pemikir modernis Islam menganggap hadits-hadits tentang Dajjal, Imam Mahdi, dan turunnya Nabi Isa sebagai cerita Israiliyat yang disusupkan ke dalam Islam.
Tokoh-tokoh yang berpendapat demikian antara lain:
1. Fazlur Rahman: Menyatakan bahwa hadits-hadits eskatologis dipengaruhi oleh kepercayaan Yahudi dan Kristen (Rahman, Fazlur. 1984. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition).
2. Ahmad Amin: Menganggap konsep Dajjal sebagai mitos dari luar Islam (Amin, Ahmad. 1928. Fajr al-Islam).
3. Muhammad Abduh: Menafsirkan Dajjal secara simbolis, bukan literal (Abduh, Muhammad & Rashid Rida. 1900. Tafsir al-Manar).
4. Ghulam Ahmad Parwez; Menolak hadits eskatologis karena dianggap tidak rasional (Parwez, Ghulam Ahmad. 1955. Islam: A Challenge to Religion).
Sebagian pemikir modernis Islam di Indonesia, tampaknya juga terpengaruh terutama oleh Muhammad Abduh dan Fazlur Rahman.
Membantah Klaim Hadits Eskatologis sebagai Israiliyat
Untuk membantah klaim bahwa hadits eskatologis hanyalah Israiliyat, dapat digunakan beberapa pendekatan:
1. Validasi Sanad dan Matan Hadits
Hadits-hadits tentang Dajjal, Imam Mahdi, dan turunnya Nabi Isa diriwayatkan dalam kitab-kitab Shahih seperti Bukhari dan Muslim.
2. Kesesuaian dengan Al-Qur’an
Turunnya Nabi Isa (QS. Az-Zukhruf: 61) "Dan sesungguhnya Isa itu benar-benar memberikan pengetahuan tentang Hari Kiamat..."
Kemunculan Ya’juj dan Ma’juj (QS. Al-Kahfi: 94, QS. Al-Anbiya: 96).
3. Ijma’ Ulama
Hadits-hadits eskatologis mutawatir maknawi (memiliki banyak riwayat yang mengarah pada kesimpulan yang sama).
Imam As-Suyuthi dalam Al-Hawi lil Fatawi menyebut hadits-hadits tentang Imam Mahdi sebagai mutawatir.
Syekh Imran dalam bukunya "An Islamic View of Gog and Magog in the Modern Age" (2012) menjelaskan bahwa hadits-hadits eskatologis yang sahih justru memiliki relevansi tinggi dengan kondisi geopolitik modern, dan bukan sekadar mitos.
Kesimpulan
Diskusi tentang hadits dan Israiliyat menunjukkan pentingnya pendekatan kritis dalam menyeleksi hadits.
Syekh Imran Hosein menolak hadits yang bertentangan dengan prinsip Al-Qur’an, seperti pernikahan Aisyah di bawah umur, tetapi tetap menerima hadits eskatologis yang memiliki sanad kuat.
Oleh karena itu, fungsi Al-Qur’an dalam menilai hadits harus lebih diutamakan, sehingga hadits yang benar-benar otentik dapat dipertahankan dan yang bermasalah dapat dikritisi.
Refleksi dan Implikasi
Artikel ini mengangkat pentingnya membedakan antara hadits yang sahih dengan cerita Israiliyat, khususnya dalam konteks eskatologi Islam.
Salah satu refleksi kritis yang dapat diambil dari artikel ini adalah urgensi untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dari pengaruh eksternal yang bisa mengaburkan pemahaman umat terhadap fenomena akhir zaman yang otentik.
Memahami perbedaan antara hadits dan Israiliyat menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa ajaran Islam tetap berdasarkan sumber yang sahih, bukan campuran dari mitos atau cerita yang tidak memiliki landasan kuat dalam Al-Qur’an maupun hadits yang benar.
Keberadaan Israiliyat dalam literatur Islam dapat menjadi tantangan besar, khususnya ketika cerita-cerita tersebut mencakup kisah-kisah yang tidak hanya tidak ada dalam Al-Qur’an, tetapi juga bertentangan dengan ajaran tauhid.
Di sisi lain, beberapa kalangan skeptis menganggap hadits-hadits eskatologis—yang membahas topik-topik seperti Imam Mahdi, Dajjal, dan turunnya Nabi Isa—sebagai bagian dari Israiliyat, yang pada akhirnya dapat membingungkan umat dalam memahami konsep-konsep eskatologis yang sangat penting dalam Islam.
Kritik seperti ini, meskipun berdasar pada pendekatan rasional dan modernis, namun mengabaikan fakta bahwa banyak hadits eskatologis yang sebenarnya memiliki sanad yang sahih dan relevansi yang mendalam dengan kondisi dunia kontemporer.
Syekh Imran Hosein, dengan pendekatannya yang kritis, memberikan penekanan pada pentingnya menilai hadits dalam konteks Al-Qur’an. Ia menolak hadits-hadits yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an, tetapi tetap mempertahankan hadits-hadits eskatologis yang memiliki sanad yang kuat dan sesuai dengan kondisi akhir zaman.
Pendekatan ini penting, karena dapat membantu umat Islam untuk tidak terjebak dalam interpretasi yang keliru tentang akhir zaman, seperti membenarkan klaim-klaim yang tidak sesuai dengan Eskatologi Islam.
Urgensi membedakan antara hadits dan Israiliyat semakin terasa dalam konteks modern, di mana banyak ideologi dan pandangan eksternal berusaha memengaruhi pemahaman umat Islam.
Dengan memahami dan mengkritisi hadits-hadits yang sahih, umat Islam dapat menjaga kemurnian aqidah dan memastikan bahwa pemahaman terhadap eskatologi tetap berpegang pada ajaran yang autentik dan tidak terdistorsi oleh pengaruh asing.
Referensi
1. Hosein, Imran. Methodology for the Study of the Qur'an. 2013.
Buku ini menguraikan metodologi yang digunakan oleh Syekh Imran dalam mempelajari Al-Qur'an, dengan penekanan pada pentingnya konteks dan pemahaman yang holistik dalam menilai keabsahan hadits.
2. Hosein, Imran. Jerusalem in the Qur'an. 2001.
Buku ini memberikan pemahaman mengenai kaitan antara Al-Qur'an dan sejarah eskatologis, serta peran penting Yerusalem dalam skenario akhir zaman.
3. Hosein, Imran. An Islamic View of Gog and Magog in the Modern Age. 2012.
Buku ini membahas fenomena Gog dan Magog dalam konteks zaman modern, dan mengkritisi interpretasi sejarah yang mengaitkan fenomena ini dengan kekuatan global saat ini.
4. Amin, Ahmad. Fajr al-Islam. 1928.
Buku ini mengkritisi berbagai praktik dalam Islam yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip rasionalisme, termasuk analisis terhadap mitos-mitos dalam tradisi Islam yang terpengaruh Israiliyat.
5. Abduh, Muhammad & Rashid Rida. Tafsir al-Manar. 1900.
Tafsir ini merupakan salah satu tafsir terkenal yang menolak pengertian literal terhadap banyak hadits, termasuk hadits eskatologis, dengan memandangnya lebih sebagai simbolik.
6. Parwez, Ghulam Ahmad. Islam: A Challenge to Religion. 1955.
Parwez mengajukan pandangan kontroversial dengan menolak banyak hadits eskatologis sebagai mitos, yang dianggapnya tidak rasional dan bertentangan dengan ajaran Islam yang murni.
7. Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. 1984.
Buku ini mengeksplorasi hubungan antara Islam dan pemikiran modern, dengan menyoroti tantangan yang dihadapi umat Islam dalam menyesuaikan ajaran agama dengan perubahan zaman, termasuk isu-isu terkait hadits.
9. Suyuthi, Jalal al-Din. Al-Hawi lil Fatawi.
Buku ini mencakup berbagai fatwa dan penjelasan terkait dengan hadits, termasuk membahas hadits-hadits eskatologis dan kedudukan mereka dalam sistem hukum Islam.
Dengan daftar referensi ini, kita bisa memahami berbagai perspektif dalam kajian hadits, Israiliyat, dan eskatologi dalam Islam, serta bagaimana pendekatan kritis terhadap hadits eskatologis dapat diterapkan dalam konteks pemikiran Islam modern.
والله اعلم
MS 06/02/25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar